Jakarta, CNN Indonesia — PT Krakatau Steel Tbk tengah melakukan program restrukturisasi guna memperbaiki kinerja keuangan yang merugi selama tujuh tahun berturut-turut. Restrukturisasi dilakukan terhadap organisasi, portofolio, dan keuangan.
Untuk restrukturisasi organisasi produsen baja itu bakal memangkas 30 persen unit kerja setara 1.879 unit dari total 6.264 posisi saat ini. Itu berarti, jumlah unit kerja di perseroan menjadi 4.385 posisi usai pemangkasan.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan pemangkasan dilakukan karena jumlah unit kerja yang ada saat ini terlalu besar dan membebani biaya operasional perusahaan.
Pengurangan unit kerja di Krakatau Steel tentunya dibarengi dengan pemangkasan jumlah tenaga kerjanya. Namun, ia belum bisa menyebutkan pengurangan jumlah karyawan tetap lantaran jumlahnya berubah setiap hari dengan adanya karyawan pensiun dan sebagainya. Per Maret 2019, jumlah tenaga kerja tetap perseroan sebanyak 4.453 orang.
Di samping upaya tersebut, perseroan berencana mengembangkan kerja sama dengan mitra bisnis lewat anak usahanya. Ia mengungkapkan beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyatakan minat kerja sama dengan Krakatau Steel. Ia menyebut telah menawarkan kerja sama dengan PT PLN (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) di bidang setrum lewat PT Krakatau Daya Listrik.
“Struktur seperti ini bukan lagi struktur yang tepat. Krakatau Steel terlambat transformasi diri yang seharusnya sudah harus dilakukan tahun sebelumnya untuk antisipasi daya saing di luar negeri,” katanya.
Meski mengurangi jumlah karyawan tetap, ia menjamin perusahaan dengan kode saham KRAS ini tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Karyawan hanya akan dialihkan kepada entitas usaha.
Pemberhentian hanya akan dilakukan pada karyawan kontrak dengan tidak memperpanjang kontrak dengan perusahaan penyedia karyawan kontrak atau outsourcing. Krakatau Steel sendiri tercatat memiliki beberapa anak usaha yang bergerak di luar sektor baja.
Sebut saja, PT Krakatau Daya Listrik di sektor kelistrikan, PT Krakatau Tirta Industri di sektor air, PT Krakatau Bandar Samudera di sektor pelabuhan, dan PT Krakatau Industrial Estate Cilegon di sektor properti. Lebih lanjut, kerja sama pengembangan air minum dengan PT PP (Persero) Tbk dan PT Adhi Karya (Persero) Tbk lewat PT Krakatau Tirta Industri. Selain itu, perseroan juga membuka kerja sama di bidang pelabuhan dengan PT Pelindo (Persero) lewat PT Krakatau Bandar Samudera. Namun ia enggan merinci perkembangan dari masing-masing pembahasan kerja sama.
“Ada yang sudah due diligence, ada yang tahap negosiasi, adapula yang baru menyatakan minat,” katanya. Selain itu, perusahaan berencana akan melakukan penjualan aset non core yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan, seperti tanah. Ia menuturkan seluruh program restrukturisasi ini diimplementasikan bertahap dan ditargetkan selesai pada 2020.
“Kebijakan tidak selalu menyenangkan bagi semua pihak, tapi apapun harus diambil keputusan, walaupun itu pahit. Dengan analisa yang cukup maka pilih risiko terkecil,” tuturnya. Ia menargetkan program restrukturisasi bisa mendatangkan efisiensi biaya operasional sebesar 20-30 persen. Selanjutnya, dana hasil efisiensi tersebut akan dialokasikan untuk pembayaran sebagian utang.
Sebagai informasi, Krakatau Steel memiliki utang dengan total US$2,2 miliar setara Rp30,8 triliun (kurs Rp14 ribu per dolar AS) pada 2018. Sedangkan utang secara konsolidasi tembus US$2,49 miliar setara Rp34,86 triliun pada periode yang sama.
“Pokoknya dari semua program itu kami targetkan bisa mendapatkan uang sebesar US$1 miliar untuk mengurangi utang,” katanya.
Sebagai informasi, kinerja keuangan Krakatau Steel dalam beberapa tahun belakangan ini sakit. Mereka merugi dalam tujuh tahun terakhir.
Krakatau Steel membukukan rugi sebesar US$19,56 juta pada 2012, sebesar US$13,6 juta pada 2013, sebesar US$154,18 juta pada 2014, sebesar US$326,51 juta pada 2015, sebesar US$180,72 juta pada 2016, sebesar US$86,09 juta pada 2017, dan sebesar US$77,16 juta pada 2018. Sejalan dengan itu, utang perseroan makin menggunung baik secara konsolidasi maupun Krakatau Steel sebagai induk.
Dari sisi konsolidasi Krakatau Steel Grup memiliki utang sebesar US$1,44 miliar di 2012, sebesar US$1,32 miliar di 2013, sebesar US$1,7 miliar di 2014, sebesar US$1,91 miliar di 2015, sebesar US$2,09 miliar di 2016, sebesar US$2,26 miliar di 2017, dan sebesar US$2,24 miliar di 2018.
Sedangkan secara induk, Krakatau Steel menanggung utang sebesar US$1,03 miliar di 2012, sebesar US$942,41 juta di 2013, sebesar US$1,26 miliar di 2014, sebesar US$1,49 miliar di 2015, sebesar US$1,76 miliar di 2016, sebesar US$1,95 miliar di 2017, dna sebesar US$2,2 miliar di 2018.